Minggu, 13 Mei 2018

Kelompok Marginal: Difabilitas


Keberadaan media di Indonesia diharapkan mampu untuk memberdayakan masyarakat melalui konten-konten yang disediakan. Namun, ketidakseimbangan isi konten yang ditayangkan media malah menyebabkan berbagai kelompok terabaikan.

Salah satunya adalah mereka yang memiliki kemampuan berbeda atau yang biasa kita sebut sebagai difabilitas. Di Indonesia sendiri sebutan bagi mereka yang memiliki kemampuan berbeda ini sudah beberapa kali berganti. Pada awalnya mereka disebut sebagai penderita cacat. Namun sebutan ini dinilai tidak tepat sebab beberapa dari mereka merasa bahwa ketidaksempurnaan yang mereka miliki bukanlah penderitaan. Maka sebutan ini kemudian berganti menjadi penyandang cacat dibawah undang-undang nomor 4 pada tahun1997. Sebutan penyandang cacat ini kemudian juga menimbulkan opini bahwa mereka yang memiliki kemampuan berbeda ini adalah orang-orang yang harus selalu dibantu karena mereka tidak dapat melakukan kegiatan-kegiatan normal.

Untuk menindaklanjuti hal tersebut, PBB mengeluarkan sebuah resolusi no A/61/106 tentang konvensi hak orang-orang dengan disabilitas pada tanggal 13 Desember 2006. Berdasarkan resolusi tersbut istilah penyandang cacat kemudian diganti lagi menjadi disabilitas. Kemudian muncul lagi stigma negative yang beranggapan bahwa kata disabilitas identic dengan ketidakmampuan atau yang dalam bahasa inggris disebut disable. Oleh karena itu, saat ini masyarakat luas lebih sering menggunakan kata difabilitas yang berangkat dari arti kata different ability. Kata difabilitas ini dinilai memiliki makna yang positif yang memandang difabilitas sebagai manusia yang utuh bukan berdasarkan pada atribut yang terdapat pada tubuhnya.

Untuk menindaklanjuti hal tersebut, PBB mengeluarkan sebuah resolusi no A/61/106 tentang konvensi hak orang-orang dengan disabilitas pada tanggal 13 Desember 2006. Berdasarkan resolusi tersbut istilah penyandang cacat kemudian diganti lagi menjadi disabilitas. Kemudian muncul lagi stigma negative yang beranggapan bahwa kata disabilitas identic dengan ketidakmampuan atau yang dalam bahasa inggris disebut disable. Oleh karena itu, saat ini masyarakat luas lebih sering menggunakan kata difabilitas yang berangkat dari arti kata different ability. Kata difabilitas ini dinilai memiliki makna yang positif yang memandang difabilitas sebagai manusia yang utuh bukan berdasarkan pada atribut yang terdapat pada tubuhnya.


Tak jarang kaum difabilitas dijadikan sebagai komoditas dalam industry media. Konten-konten yang meliput difabel sebagai objeknya, lebih banyak berfokus pada dramatisasi kepribadian difabel. Dengan gamblangnya media bahkan menonjolkan ketidaksempurnaan fisik yang dimiliki difabel yang bersangkutan agar masyarakat yang mengonsumsi tayangan tersebut tersentuh nuraninya. Maka tak heran bila muncul stereotip di masyarakat bahwa sosok difabel adalah orang-orang yang pelru dikasihani dan tak berdaya. Stereotip inilah yang sangat umum beredar di masyarakat.

Persepsi lain yang muncul adalah bahwa difabilitas ada karena kesalahan atau dosa yang dimilki sesorang. Hal ini ditampilkan melalui sinetron-sinetron hidayah yang ditayangkan di televisi. Didalam kontennya serigkali memunculkan tokoh antagonis yang kemudian terkena azab dan menjadi difabilitas. Konten-konten semacam ini memberikan reperesentasi yang salah akan kaum difabilitas itu sendiri akan tetapi pesan dari sinteron ini terus saja diulang-ulang. Akibatnya, terbentuklah streotip di masyarakat yang menilai bahwa difabel merupakan buah dari dosa.


Sedangkan dalam acara-acara komedi, difabilitas sering dijadikan sebagai objek perendahan. Sebut saja sosok Haji Bolot yang merepresentasikan kaum tuna rungu. Aksinya yang digambarkan tidak memiliki kemampuan mendengar selalu mengundang gelak tawa penonton. Padahal sebenarnya ia sendiri bukanlah penderita tuna rungu. Seharusnya ia tidak berusaha melabeli dirinya sebagai comedian yang tuna rungu. Tayangan komedi ini secara tidak langsung memberikan pendidikan kepada masyarakat bahwa difabel merupakan orang-orang yang pantas untuk ditertawakan, pantas untuk dijadikan lelucon.

Haji Bolot dalam acara Ini Talkshow

Menurut Barnes 1992, stereotip mengenai difabilitas hanya berdasarkan pada takhayul, mitos dan kepercayaan kuno yang berkembang di masyarakat. Mengenai keberadaan stereotip tersebut di zaman modern ini semuanya berawal dari media. Melalui tayangan-tayangan seperti yang disebutkan diatas, media secara tidak langsung mempertahankan stereotip yang berkembang di masyarakat kuno. Terutama tentang difabel yang merupakan buah dari dosa manusia.

Sebagai kelompok marginal yang jumlahnya minoritas, kaum difabilitas ini sebenarnya menuntut adanya konten-konten yang relevan mengenai difabel. Misalnya membantu mereka untuk mendapatkan fasilitas penunjang yang layak atau bahkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian media. Namun, alih-alih menyuarakan aspirasi tersebut, media malah mengeksploitasi difabel dengan memainkan rating demi kepentingan bisnis.

Kisah, aspirasi dan pendapat kaum difabel di media jumlahnya sangat sedikit dan jarang sekali ditampilkan. Paling-paling dalam  peringatan Hari Penyandang Cacat setiap tanggal 3 desember. Diluar itu, kaum difabel sangat jarang muncul di media media popular, sekalinya mereka tampil akan dihadirkan dalam peran yang stereotipikal dan merendahkan. (Sang Ayu Ade, Senang Hati Gianyar-Bali, Wawancara 27/02/2012)






2 komentar:

Kritis pada media, maju untuk Indonesia!

Blog oleh Bernardus Pandu, Cindy Gozali, Desicia Calista, dan Laurensia Lucinta. Diberdayakan oleh Blogger.
"The mass media, their influence is everywhere, they tell us what to do, what to think, and they tell us to think about ourselves all of the time" - Tricia Harris

Mass Communication Class D

Isu Literasi Digital

Dunia kini berkembang semakin canggih, masyarakat pun mau tidak mau mengikuti moderenisasi yang ada, termasuk juga dalam bidang teknologi...

Formulir Kontak

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Pages

Blogger templates