Minggu, 20 Mei 2018

Isu Literasi Digital


Dunia kini berkembang semakin canggih, masyarakat pun mau tidak mau mengikuti moderenisasi yang ada, termasuk juga dalam bidang teknologi. Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi telah membawa pengaruh yang begitu kuat terhadap kehidupan manusia, manfaat bisa di dapatkan dengan mudah melalui teknologi, manusia pun kini sudah tidak lagi bergantung pada informasi melalui media media cetak, namun justru bergantung pada saluran internet lewat teknologi, hal inilah yang kemudian disebut sebagai fenomena googlization,Inilah yang disebut fenomena ‘Googlization’, sebuah kondisi yang membuat seseorang sangat nyaman untuk menjelajah di dunia maya untuk mencari informasi. Masyarakat pengguna teknologi di jaman ini semakin dikhawatirkan, karena kemampuan mengelola informasi yang berubah sebagai akibat dari dampak fenomena tersebut.

Dikutip dari biz.kompas.com, Studi dari MindEdge Online Survey of Critical Thinking Skills menunjukkan generasi milennial kekurangan kemampuan berpikir kritis. Masalah ini menjadi sangat penting menginat 55 persen generasi milennial bergantung pada media sosial sebagai sumber berita, 51 persen sangat rajin membagikan konten dari media sosial ke lingkaran terdekatnya, dan 36 persen secara sengaja telah membagikan informasi yang tidak akurat.

Padahal kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan di era digital ini, karena teknologi mampu dijadikan sebagai alat berkembangnya hal hal negatif dan tidak berdasarkan pada fakta. Patricia Greenfield, seorang profesor di bidang psikologi dan Direktur Digital Media Centre, Los Angeles menyatakan kemampuan analisis dan berpikir kritis kita kini telah menurun seiring meningkatnya peran teknologi di hidup kita (Stuart Wolpert, UCLA).

Hal tersebut juga tergambar di negara multietnis seperti Indonesia, banyaknya konten yang menyinggung unsur SARA tentu saja mampu menimbulkan perpecahan. Melalui internet, informasi manapun dapat dianggap sebagai kebenaran, meskipun hal itu diragukan sama sekali. Masyarakat yang meyakini hal tersebut kemudian mampu untuk menyebarluaskan dan meningkatkan kebencian di antara orang orang dari latar belakang budaya, suku, maupun agama yang berbeda beda. Terbukti dari kasus Saracen yang menyebarkan informasi berisi isu isu SARA yang tidak terbukti kebenarannya dan tidak sedikit dari masyarakat yang mempercayai hal itu.

Kasus lainnya juga terjadi saat pilkada Jakarta, ketika media menimbulkan banyak kontroversi di kalangan masyarakat, dan diakui oleh Matarari Timoer yang merupakan salah satu anggota ICT Watch mengatakan bahwa kehidupan digital kita telah memasuki dunia kegelapan, dan itulah mengapa negara butuh orang-orang untuk menjadi lentera dan memerangi kegelapan ini.

Banyak informasi palsu yang disebar melalui media sosial maupun media online lainnya. Sebut saja ketika Raja Salman dari Arab Saudi melakukan kunjungan ke Indonesia, media menunjukan bagaimana fakta diputarbalikan, foto Ahok yang sedang berjabat tangan dengan Raja Salman disebut palsu. Padahal, foto tersebut dipotret langsung oleh fotografer kepresidenan dan tersebar luas di media sosial ketika Raja Saudi itu tiba di Jakarta awal Maret lalu. Juga ada poster-poster rekaan yang tersebar yang mengatakan bahwa "jika Anies Baswedan kalah pemilu, akan ada Revolusi Islam" dengan gambar provokatif pria dengan pakaian putih memegang pedang. Tapi lucunya, hal yang memang sengaja dipalsukan malah dielu-elukan sebagai fakta. Disini seharusnya ada filter yang menyaring informasi yang salah atau sengaja direkayasa. Dan filter ini menjadi bagian dari ranah literasi digital.Khususnya dalam topik isu berita hoax, website penebar kebencian,  atau berita yang diplintir menjadi fokus.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa netizen Indonesia masih belum memiliki edukasi yang kuat tentang media digital. Sebab mereka menyebarkan informasi tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital #Siberkreasi Dedy Permadi mengatakan posisi Indonesia diantara anggota G20 (Group of Twenty) yang terdiri dari 19 negara termasuk Indonesia dan Uni Eropa, bisa dikatakan rendah. Selandia Baru punya program literasi digital sejak SD, Australia juga sudah punya, bahkan di Uni Eropa setiap pembangunan infrastruktur teknologi diimbangi dengan pengetahuan teknologi,  Indonesia masih rendah soal pengetahuan teknologi. Maka dari itu sangat rawan akan hoax, cyber bullying, sampai radikalisme.

Oleh karena itu, literasi digital khususnya di Indonesia perlu terus dikembangkan. Disisi lain, kita sebagai mahasiswa pun dapat turut ambil bagian dalam perluasan literasi digital, diantaranya dengan menyebarluaskan konten media yang positif, misalnya mengeskplor budaya budaya indonesia yang jarang diketahui masyarakat, memberikan informasi tempat wisata yang semulanya tidak banyak diketahui, hal tersebut dapat dilakukan terutama melalui media sosial yang dominan menjadi tempat bagi para netizen untuk mencari informasi.

Bagaimana upaya kita sebagai mahasiswa, ikut serta dalam mengembangkan literasi digital pada masa ini? Tentunya banyak Sahabat Korps, namun kalian dapat melakukan tiga hal utama ini dalam kehidupan sehari-hari kalian:
  • memanfaatkan internet untuk hal-hal yang positif 
  • mencegah beredarnya hoax dengan cara selalu melakukan crosscheck terhadap setiap pemberitaan yang ada di media apapun, mulai dari diri sendiri 
  • menciptakan konten-konten kreatif dan bermutu melalui media sosial





Sabtu, 19 Mei 2018

Masih Mau Dibodohi Media?



Pada dasarnya, konvergensi dan konglomerasi media memiliki tujuan untuk memperoleh simpati publik dalam jumlah yang lebih banyak melalui konten yang mereka produksi. Maka, semakin banyak kanal media yang tergabung, semakin banyak pula simpati publik yang mereka peroleh. Namun, sayangnya orientasi mereka hanya mengarah pada profit atau keuntungan. Subjek ‘mereka’ yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang memegang saham terbesar atau bahkan pemilik media itu sendiri. Hal ini jelas menjadi dampak negatif lainnya dari akibat adanya konglomerasi dan konvergensi itu sendiri.

Sahabat Korps, telah kita pahami sebelumnya bahwa media-media di Indonesia ini hanya dikuasai oleh beberapa orang besar saja. Ternyata, kecenderungan pemilik media yang mengutamakan modal tersebut justru malah merugikan kita. Masyarakat pada dasarnya berhak untuk mendapatkan konten-konten yang bersifat edukatif dan berkualitas, namun nyatanya, fakta berbicara lain. Berdasarkan survei Nielsen dalam buku Nugroho, Putri & Laksmi (2013) berjudul Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer Di Indonesia, mengatakan bahwa sinetron memegng angka tertinggi dengan sebanyak 26% sebagai tayangan yang paling banyak ditonton oleh masyarakat. Sinetron menjadi konten yang paling banyak disiarkan oleh media-media di Indonesia (seperti RCTI dan MNC TV, Indosiar dan SCTV), padahal seperti yang kita lihat sendiri, konten dari sinetron-sinetron tersebut justru tidak berkualitas dan edukatif. Kembali lagi, semuanya berbalik pada orientasi utama yaitu profit. Media hanya berfokus pada rating tinggi karena melalui rating tersebut, mereka dapat memperoleh profit yang besar pula.

Tidak hanya konten secara garis besar, iklan juga menjadi faktor lain bagi media dalam mencari profit. Melalui iklan, media-media tersebut bisa memperoleh pemasukkan yang sangat banyak. Pada saat ini, iklan dapat muncul di mana saja dan di media mana saja, mulai dari surat kabar, media online, radio, sampai televisi. Dalam televisi misalnya, tercantum dalam Draft Revisi Undang-Undang Penyiaran 19 Juni 2017 Pasal 142 yang menyatakan bahwa waktu siaran untuk iklan spot untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling banyak 30% dari seluruh waktu siaran per tahun. Angka tersebut naik sebanyak 10% dari UU Penyiaran tahun 2002 yang membatasi iklan agar tidak lebih 20% dari total waktu siar. Terbukti, kini iklan di televisi sudah sangat banyak dan bahkan ada juga yang diselipkan dalam program-program mereka sendiri, seperti sinetron.

Kedua fakta tersebut merupakan hal yang sangat memprihatinkan dan sangat merugikan bagi kalangan masyarakat, termasuk kita semua. Kesannya, kepentingan seluruh masyarakat seolah-olah dinomor duakan setelah kepentingan perusahaan yang lebih mengutamakan profit. Jika hal ini tidak segera ditangani melalui pembentukan regulasi terhadap konglomerasi dan konvergensi media, yang ada kita hanya akan terus dibodohi oleh industri bisnis yang salah tempat ini. Apa kalian mau begitu?

Sumber:
Buku
Nugroho, Yanuar. Dinita Andriani Putri & Shita Laksmi. 2013. Memetakan Lanskap Industri Media Di Indonesia. Jakarta: Centre for Innovation Policy and Government.
Internet
http://www.beritasatu.com/politik/477984-kerangka-hukum-kewenangan-pemilu-dinilai-masih-lemah.html. Purnamasari, Deti Mega. 2018. Kerangka Hukum Kewenangan Pemilu Dinilai Masih Rendah. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/565574/7-media-ini-dituding-berpihak-dan-tendensius. Tempo.co. 2014. 7 Media Ini Dituding Berpihak dan Tendensius. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://news.okezone.com/amp/2017/12/27/337/1836515/tahun-politik-dan-netralitas-media. Mardiyansyah, Khafid. 2017. Tahun Politik dan Netralitas Media. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.



Mengapa Ada Konvergensi Media?



Halohalo Sahabat Korps! Mungkin kalian sudah sering mendengar kata "konvergensi" dalam kehidupan sehari-hari. Tapi apasih artinya itu?

Menurut KBBI V, konvergensi dapat disebut dengan kata lain yaitu memusat. Konvergensi juga merupakan suatu keadaan menuju satu titik pertemuan. Lalu hubungannya dengan media-media di Indonesia apa dong, Korps?

Konvergensi media menurut Lawson-Borders (dalam Nugroho, Putri & Laksmi, 2013) merupakan suatu usaha untuk menggabungkan media konvesional dan media baru, untuk menyebarkan informasi, hiburan dan berita. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, konvergensi media juga dapat berarti sebuah upaya untuk menimbulkan adanya keselarasan dan kesamaan dalam hal konten dari setiap platform-platform media tertentu. Media-media tersebut tergabung menjadi satu dan memiliki satu tujuan yang sama. Pada dasarnya, konvergensi media ini bertujuan untuk memperoleh simpati publik dalam jumlah yang lebih banyak (ujung-ujungnya mengarah pada orientasi profit). Maka, semakin banyak kanal media yang tergabung, semakin banyak pula simpati publik yang mereka peroleh.

Agar konvergensi media itu sendiri dapat terwujud, perlu adanya usaha untuk menggabungkan ruang redaksi dari masing-masing kanal media yang berbeda, ke dalam satu ruang redaksi yang sama. Upaya ini akan mempermudah kelompok media tersebut dalam memproduksi suatu konten yang sama karena ruang redaksi itu sendiri memiliki fungsi untuk menyelaraskan konten-konen yang diproduksi.

Dengan adanya konvergensi media ini, sesungguhnya setiap media tidak perlu repot-repot dalam halnya meproduksi sebuah konten. Peliputan berita contohnya. Setiap media yang tergabung menjadi satu tersebut hanya perlu mengandalkan satu jurnalis saja untuk turun ke lapangan dan meliput berita tersebut. Kemudian, tim-tim produksi dari setiap kanal media hanya perlu mereproduksi ulang isi berita tersebut sebelum akhirnya disebarkan kepada masyarakat

Konvergensi media memiliki hubungan yang erat dengan konglomerasi media (Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2013). Meskipun konglomerasi media lebih mengacu pada strategi bisnis, sedangkan konvergensi media lebih mengacu pada basis teknologi yang digunakan untuk mengakses media tersebut, namun keduanya memberikan dampak yang sama terhadap masyarakat sekitar.

Kembali ke tujuan utama konvergensi media yang ingin mendapatkan simpati masyarakat lebih banyak melalui penggabungan dari berbagai macam kanal media yang berbeda. PT Kompas Gramedia contohnya. Mereka berani untuk memperluas jangkauannya ke berbagai media yang ada di Indonesia sampai saat ini. Mulai dari televisi, media online, sampai surat kabar mereka sapu bersih. Saat ini, media-media seperti Kompas TV, Kompas.com, surat kabar Harian Kompas, sampai TribunNews, semua berada di bawah naungan perusahaan tersebut.

Hal yang sama juga dapat kita lihat pada CT Group. TransCorp yang merupakan bagian dari unit usaha CT Group -- di bawah naungan Chairul Tanjung -- tersebut masih merasa tidak puas walaupun sudah memiliki dua kanal stasiun televisi yang berbeda, yaitu Trans TV dan Trans 7. Mereka tetap berupaya untuk memperluas jangkauannya sampai ke media online, seperti detik.com dan CNNIndonesia.com. Upaya tersebut tidak lain dan tidak salah lagi bertujuan untuk memperbesar keuntungan mereka, bahkan keuntungan pribadi, dengan cara memperoleh simpati masyarakat yang lebih suka mengakses berita melalui media online. Bahkan di luar itu, CT Group masih memiliki hubungan dengan perusahaan-perusahaan besar lainnya, mulai dari perusahaan asuransi seperti PT Bank Mega, sampai pada industri rekreasi seperti Trans Studio Bandung.

Berdasarkan kedua contoh di atas, dapat dilihat bahwa perusahaan-perusahaan dan kanal media besar berhasil mengembangkan industri dan konvergensinya ke berbagai media karena mereka memiliki modal yang besar pula. Bagaimana dengan kanal-kanal media yang tidak memiliki cukup modal untuk memperluas jangakuannya? Tentunya ini menjadi dampak negatif bagi adanya konvergensi media itu sendiri. Hal tersebut justru memaksa kanal media seperti itu untuk gelar tikar karena sudah jelas bahwa mereka kalah bersaing dengan kanal-kanal media besar seperti itu (Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2013.)

Selain itu, adanya konvergensi media ini juga mengakibatkan berkurangnya variasi konten karena penyeragaman oleh kanal-kanal media. Konvergensi media juga menjadi tantangan yang baru yang harus dihadapi oleh para jurnalis. Mau tidak mau, para jurnalis dituntut untuk lebih professional dalam mengoperasikan alat-alat teknologi. Konvergensi media memungkinkan kanal-kanal media menyebarkan isi kontennya ke berbagai alat teknologi/media, mulai dari surat kabar sampai media online. Oleh karena itulah, para jurnalis harus dapat menyesuaikannya karena mereka tidak akan tahu kapan dan dimana mereka akan ditempatkan. Bisa saja seorang jurnalis yang bekerja untuk kanal media yang berorientasi pada surat kabar, tiba-tiba ditugaskan untuk bekerja untuk kanal media yang berorientasi pada televisi.


Konvergensi media yang terjadi dalam bidang industri media pada masa ini sudah terbukti banyak memberikan dampak buruk, termasuk kurangnya keberagaman konten yang beredar dalam masyarakat. Namun, sampai saat ini pun belum ada regulasi yang jelas yang mengatur permasalahan ini.  Zulviani (dalam Nugroho, Putri & Laksmi, 2013) yang merupakan anggota Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATSI), pun mengatakan bahwa tidak ada peraturan untuk mengendalikan struktur bisnis media. 

Sumber:
Buku
Nugroho, Yanuar. Dinita Andriani Putri & Shita Laksmi. 2013. Memetakan Lanskap Industri Media Di Indonesia. Jakarta: Centre for Innovation Policy and Government.
Internet
http://www.beritasatu.com/politik/477984-kerangka-hukum-kewenangan-pemilu-dinilai-masih-lemah.html. Purnamasari, Deti Mega. 2018. Kerangka Hukum Kewenangan Pemilu Dinilai Masih Rendah. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/565574/7-media-ini-dituding-berpihak-dan-tendensius. Tempo.co. 2014. 7 Media Ini Dituding Berpihak dan Tendensius. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.

https://news.okezone.com/amp/2017/12/27/337/1836515/tahun-politik-dan-netralitas-media. Mardiyansyah, Khafid. 2017. Tahun Politik dan Netralitas Media. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.


Apa Itu Konglomerasi Media?


Pertumbuhan industri media massa terus berkembang pasca lengsernya masa Orde Baru pada tahun 1998, namun jauh sebelum itu, sebenarnya pertumbuhan media massa telah ada sebelum reformasi, hal itu ditandai dengan keterlibatan Presiden Soeharto, dimana pada tahun 1989, RCTI yang merupakan stasiun televisi swasta pertama di Indonesia didirikan oleh putra ketiga Presiden Soeharto yaitu Bambang Trihatmodjo, begitu pun dengan televisi swasta kedua dan ketiga yaitu SCTV dan TPI yang masing masing didirikan oleh Henri Pribadi dan Sudwikatmono (sepupu Presiden Soeharto), dan TPI yang didirikan oleh Siti Hardiyanti Rukmana yang merupakan putri Presiden Soeharto pada tahun 1990.

Berdasarkan pengertian dari Nugroho, Putri, dan Laksmi (dalam bukunya. Memetakan Lanskap Industri Media Di Indonesia, 2013), konglomerasi media sendiri merupakan kekuasaan dalam kepemilikan berbagai perusahaan media massa, baik berbentuk cetak, online, maupun elektronik. Apakaha kalian tahu CT Group? Yap, CT Group merupakan salah satu contoh dari konglomerasi media adalah CT Group yang membeli salah satu media online independen yaitu Detik.com ke dalam perusahaannya pada tahun 2011 silam. Detik.com sendiri merupakan media online nomor satu di Indonesia yang memberikan informasi berita secara cepat dan terpercaya, meskipun sudah hadir banyak media online lainnya, detik masih meraup banyak pembaca, belum lagi dengan iklan yang ada di dalamnya. Hal tersebut tentu menjadi sebuah keuntungan bagi CT Group yang selama ini telah membawahi Trans TV dan Trans 7, sehingga memenuhi kelengkapan media yang dimilikinya.

Namun persaingan konglomerasi yang semakin menjamur itu justru menimbulkan ancaman lain bagi kebebasan pers di Indonesia, karena setting dan manajemennya yang harus menyesuaikan dengan kepemilikan media itu sendiri, sehingga mengakibatkan keberadaan pemilik media massa di ruang redaksi menjadi sangat dominan. Belum lagi, media massa yang kini hanya dijadikan sebagai alat untuk kepentingan politik dan bisnis, dengan menjatuhkan lawan dan mempromosikan bagian dari kepemilikannya, yang menyebabkan menurunnya tingkat kredibilitas berita yang semestinya.

Untuk saat ini dan dalam waktu dekat, konvergensi media akan mengintegrasikan semua kanal media di mana hal ini akan, dan pasti, menjadi penggerak yang potensial untuk terjadinya konglomerasi. Konvergensi media sendiri merupakan penggabungan media yang sebelumnya terpisah, seperti media cetak, online, maupun elektronik, kemudian menjadi satu ke dalam sebuah media tunggal yang memiliki tujuan yang sama. Nugroho, Putri, dan Laksmi pun menyebutkan beberapa kelompok yang melakukan konglomerasi melalui konvergensi media, seperti MNC Group, Jawa Pos Group, Kompas Gramedia Group, dan Mahaka Media Group.

Salah satu kebijakan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah no. 50/2005 mengenai Penyiaran Swasta membatasi kepemilikan silang perusahaan-perusahaan media, dan Pasal 33 dari regulasi tersebut melarang satu lembaga penyiaran (televisi dan/atau radio) serta satu media cetak dari satu perusahaan yang sama untuk beroperasi di satu wilayah yang sama, namun kenyataannya PP ini tidak diimplementasikan dengan baik dengan alasan sebagian besar lembaga-lembaga media yang ada sudah beroperasi secara bertahuntahun, sehingga sangatlah sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan peraturan yang baru.

Sumber:
Buku
Nugroho, Yanuar. Dinita Andriani Putri & Shita Laksmi. 2013. Memetakan Lanskap Industri Media Di Indonesia. Jakarta: Centre for Innovation Policy and Government.
Internet
http://www.beritasatu.com/politik/477984-kerangka-hukum-kewenangan-pemilu-dinilai-masih-lemah.html. Purnamasari, Deti Mega. 2018. Kerangka Hukum Kewenangan Pemilu Dinilai Masih Rendah. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/565574/7-media-ini-dituding-berpihak-dan-tendensius. Tempo.co. 2014. 7 Media Ini Dituding Berpihak dan Tendensius. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://news.okezone.com/amp/2017/12/27/337/1836515/tahun-politik-dan-netralitas-media. Mardiyansyah, Khafid. 2017. Tahun Politik dan Netralitas Media. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.



(Video via Youtube)





Harusnya Kita Punya Regulasi Yang Jelas!



Dalam industri media terdapat dua besar payung hukum yakni Undang-undang tentang Pers Nomor 40 tahun 1999 dan Undang-undang tentang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002. Meskipun pada implementasinya seringkali tidak tepat. Undang-undang yang sudah dibuat kadangkala tidak sinkron satu sama lain bahkan bertentangan. Misalnya kontradiksi antara Peraturan Pemerintah No. 50/2005 dan Undang-undang Penyiaran no 32/2002. Isi dari PP 50/2005 bertentangan dengan poin-poin yang sudah diatur oleh UU Penyiaran. Pertentangan yang paling terlihat adalah mengenai proses mendapatkan izin dan kewajiban untuk melaksanakan sistem siaran berjaringan. Bahkan pada kenyataannya, Peraturan Pemerintah tersebut telah melanggar Undang-Undang dengan mengizinkan sebuah lembaga penyiaran untuk menjangkau hingga maksimal 75% dari jumlah total provinsi yang ada di Indonesia.

Sebagai respon terhadap tidak memadainya regulasi yang ada, pada bulan Oktober 2011, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIPD) mengajukan judicial review untuk Pasal 18 (1) dan Pasal 34 (4) dari UU Penyiaran no 32/2002. KIPD beranggapan bahwa merger dan akuisisi di antara perusahaan-perusahaan penyiaran sudah berjalan terlalu jauh dan telah melanggar esensi dari UU Penyiaran, yaitu mempertahankan karakter publik dari media.

Apa yang menjadi risiko di sini adalah hilangnya karakter publik pada media. Dari perspektif hak warga, dapat diperhatikan berkurangnya akses warga terhadap infrastruktur media, kualitas dan keberagaman konten media, serta kemampuan untuk dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan media (Nugroho et al., 2012).

Sumber:
Buku
Nugroho, Yanuar. Dinita Andriani Putri & Shita Laksmi. 2013. Memetakan Lanskap Industri Media Di Indonesia. Jakarta: Centre for Innovation Policy and Government.
Internet
http://www.beritasatu.com/politik/477984-kerangka-hukum-kewenangan-pemilu-dinilai-masih-lemah.html. Purnamasari, Deti Mega. 2018. Kerangka Hukum Kewenangan Pemilu Dinilai Masih Rendah. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/565574/7-media-ini-dituding-berpihak-dan-tendensius. Tempo.co. 2014. 7 Media Ini Dituding Berpihak dan Tendensius. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.

https://news.okezone.com/amp/2017/12/27/337/1836515/tahun-politik-dan-netralitas-media. Mardiyansyah, Khafid. 2017. Tahun Politik dan Netralitas Media. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.

Eh, Ada Yang Baru Nih!



Wah.. apa tuh yang baru? Tentu saja media massa di sekitar kita, Sahabat Korps. Yup! Media kita ini pastinya akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman pula.

Nugroho, Putri, dan Laksmi (dalam bukunya Memetakan Lanskap Industri Media Di Indonesia, 2013) menyebutkan bahwa setelah jatuhnya rezim Soeharto pada orde baru, industri media menunjukan perkembangan yang pesat. Hal ini dikarenakan pada zaman kekuasaan Soeharto, media hanya digunakan sebagai alat pengendali masyarakat. Konten-konten yang disediakan media pada saat itu digunakan pemerintah untuk menyebarkan propaganda politik. Tidak banyak variasi konten dalam media sehingga masyarakat pada saat itu pun menjadi jenuh.

Seiring berjalannya waktu, akibat dari masyarakat yang secara tidak langsung menuntut adanya variasi konten dalam media, munculah televisi-televisi lokal dan stasiun radio komunitas. Pertumbuhan yang terjadi pada televisi lokal pun terbilang cukup signifikan. Menurut asosiasi televisi lokal, pada tahun 2002 terdapat 7 anggota yang tergabung sedangkan pada tahun 2011 jumlah itu terus bertambah menjadi 41 anggota. Diluar asosiasi ini juga terdapat televisi lokal lain yang belum bergabung.

Sayangnya, saat ini perkembangan dari televisi lokal dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki dana lebih besar untuk urusan bisnis. Bener gak, Korps? Televisi lokal yang dibangun atas prakarsa perorangan atau komunitas kecil sering kali kalah dalam hal permodalan dan fasilitas penunjang dalam dunia pertelevisian dan pada akhirnya televisi lokal diambil oleh gurp-grup media yang lebih besar.

Permasalahan lain yang dihadapi oleh televisi lokal adalah terbatasnya alokasi kanal frekuensi yang disediakan oleh pemerintah. Idealnya, setiap wilayah memiliki alokasi 14 kanal frekuensi, di mana 10 kanal dialokasikan untuk stasiun televisi nasional, 1 untuk TVRI, 2 kanal untuk digital dan hanya tersisa 1 kanal untuk televisi lokal (KPI, 2008). Hal ini menjadi penghambat apabila dalam satu daerah terdapat lebih dari satu stasiun televisi lokal. Televisi lokal ini harus berusaha keras untuk mendapatkan alokasi kanal tersebut.

Untuk menghadapi persaingan tersebut, banyak dari stasiun televisi kini mulai melebarkan sayapnya ke dunia online. Stasiun televisi kini banyak menjual jasa mereka melalui internet. Internet yang sifatnya cepat, mudah diakses dan juga terjangkau kini hadir sebagai media baru bagi kita. Internet juga membuka peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menyampaikan berbagai aspirasinya kepada publik. Meskipun, di Indonesia sendiri, penggunaan internet erat kaitannya dengan norma-norma yang berlaku. Kita sebagai pengguna internet seringkali memberikan sensor atau penilaian sendiri mengenai konten konten di internet dengan mengaitkannya dengan norma. Sehingga status kebebasan dalam mengunggah konten di Indonesia hanya berlaku sebagian (Freedom House, 2011).

Sumber:
Buku
Nugroho, Yanuar. Dinita Andriani Putri & Shita Laksmi. 2013. Memetakan Lanskap Industri Media Di Indonesia. Jakarta: Centre for Innovation Policy and Government.
Internet
http://www.beritasatu.com/politik/477984-kerangka-hukum-kewenangan-pemilu-dinilai-masih-lemah.html. Purnamasari, Deti Mega. 2018. Kerangka Hukum Kewenangan Pemilu Dinilai Masih Rendah. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/565574/7-media-ini-dituding-berpihak-dan-tendensius. Tempo.co. 2014. 7 Media Ini Dituding Berpihak dan Tendensius. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://news.okezone.com/amp/2017/12/27/337/1836515/tahun-politik-dan-netralitas-media. Mardiyansyah, Khafid. 2017. Tahun Politik dan Netralitas Media. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.

Minggu, 13 Mei 2018

Kelompok Marginal: Difabilitas


Keberadaan media di Indonesia diharapkan mampu untuk memberdayakan masyarakat melalui konten-konten yang disediakan. Namun, ketidakseimbangan isi konten yang ditayangkan media malah menyebabkan berbagai kelompok terabaikan.

Salah satunya adalah mereka yang memiliki kemampuan berbeda atau yang biasa kita sebut sebagai difabilitas. Di Indonesia sendiri sebutan bagi mereka yang memiliki kemampuan berbeda ini sudah beberapa kali berganti. Pada awalnya mereka disebut sebagai penderita cacat. Namun sebutan ini dinilai tidak tepat sebab beberapa dari mereka merasa bahwa ketidaksempurnaan yang mereka miliki bukanlah penderitaan. Maka sebutan ini kemudian berganti menjadi penyandang cacat dibawah undang-undang nomor 4 pada tahun1997. Sebutan penyandang cacat ini kemudian juga menimbulkan opini bahwa mereka yang memiliki kemampuan berbeda ini adalah orang-orang yang harus selalu dibantu karena mereka tidak dapat melakukan kegiatan-kegiatan normal.

Untuk menindaklanjuti hal tersebut, PBB mengeluarkan sebuah resolusi no A/61/106 tentang konvensi hak orang-orang dengan disabilitas pada tanggal 13 Desember 2006. Berdasarkan resolusi tersbut istilah penyandang cacat kemudian diganti lagi menjadi disabilitas. Kemudian muncul lagi stigma negative yang beranggapan bahwa kata disabilitas identic dengan ketidakmampuan atau yang dalam bahasa inggris disebut disable. Oleh karena itu, saat ini masyarakat luas lebih sering menggunakan kata difabilitas yang berangkat dari arti kata different ability. Kata difabilitas ini dinilai memiliki makna yang positif yang memandang difabilitas sebagai manusia yang utuh bukan berdasarkan pada atribut yang terdapat pada tubuhnya.

Untuk menindaklanjuti hal tersebut, PBB mengeluarkan sebuah resolusi no A/61/106 tentang konvensi hak orang-orang dengan disabilitas pada tanggal 13 Desember 2006. Berdasarkan resolusi tersbut istilah penyandang cacat kemudian diganti lagi menjadi disabilitas. Kemudian muncul lagi stigma negative yang beranggapan bahwa kata disabilitas identic dengan ketidakmampuan atau yang dalam bahasa inggris disebut disable. Oleh karena itu, saat ini masyarakat luas lebih sering menggunakan kata difabilitas yang berangkat dari arti kata different ability. Kata difabilitas ini dinilai memiliki makna yang positif yang memandang difabilitas sebagai manusia yang utuh bukan berdasarkan pada atribut yang terdapat pada tubuhnya.


Tak jarang kaum difabilitas dijadikan sebagai komoditas dalam industry media. Konten-konten yang meliput difabel sebagai objeknya, lebih banyak berfokus pada dramatisasi kepribadian difabel. Dengan gamblangnya media bahkan menonjolkan ketidaksempurnaan fisik yang dimiliki difabel yang bersangkutan agar masyarakat yang mengonsumsi tayangan tersebut tersentuh nuraninya. Maka tak heran bila muncul stereotip di masyarakat bahwa sosok difabel adalah orang-orang yang pelru dikasihani dan tak berdaya. Stereotip inilah yang sangat umum beredar di masyarakat.

Persepsi lain yang muncul adalah bahwa difabilitas ada karena kesalahan atau dosa yang dimilki sesorang. Hal ini ditampilkan melalui sinetron-sinetron hidayah yang ditayangkan di televisi. Didalam kontennya serigkali memunculkan tokoh antagonis yang kemudian terkena azab dan menjadi difabilitas. Konten-konten semacam ini memberikan reperesentasi yang salah akan kaum difabilitas itu sendiri akan tetapi pesan dari sinteron ini terus saja diulang-ulang. Akibatnya, terbentuklah streotip di masyarakat yang menilai bahwa difabel merupakan buah dari dosa.


Sedangkan dalam acara-acara komedi, difabilitas sering dijadikan sebagai objek perendahan. Sebut saja sosok Haji Bolot yang merepresentasikan kaum tuna rungu. Aksinya yang digambarkan tidak memiliki kemampuan mendengar selalu mengundang gelak tawa penonton. Padahal sebenarnya ia sendiri bukanlah penderita tuna rungu. Seharusnya ia tidak berusaha melabeli dirinya sebagai comedian yang tuna rungu. Tayangan komedi ini secara tidak langsung memberikan pendidikan kepada masyarakat bahwa difabel merupakan orang-orang yang pantas untuk ditertawakan, pantas untuk dijadikan lelucon.

Haji Bolot dalam acara Ini Talkshow

Menurut Barnes 1992, stereotip mengenai difabilitas hanya berdasarkan pada takhayul, mitos dan kepercayaan kuno yang berkembang di masyarakat. Mengenai keberadaan stereotip tersebut di zaman modern ini semuanya berawal dari media. Melalui tayangan-tayangan seperti yang disebutkan diatas, media secara tidak langsung mempertahankan stereotip yang berkembang di masyarakat kuno. Terutama tentang difabel yang merupakan buah dari dosa manusia.

Sebagai kelompok marginal yang jumlahnya minoritas, kaum difabilitas ini sebenarnya menuntut adanya konten-konten yang relevan mengenai difabel. Misalnya membantu mereka untuk mendapatkan fasilitas penunjang yang layak atau bahkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian media. Namun, alih-alih menyuarakan aspirasi tersebut, media malah mengeksploitasi difabel dengan memainkan rating demi kepentingan bisnis.

Kisah, aspirasi dan pendapat kaum difabel di media jumlahnya sangat sedikit dan jarang sekali ditampilkan. Paling-paling dalam  peringatan Hari Penyandang Cacat setiap tanggal 3 desember. Diluar itu, kaum difabel sangat jarang muncul di media media popular, sekalinya mereka tampil akan dihadirkan dalam peran yang stereotipikal dan merendahkan. (Sang Ayu Ade, Senang Hati Gianyar-Bali, Wawancara 27/02/2012)






Sabtu, 12 Mei 2018

Teori-Teori Dalam Berkomunikasi


Berbicara dihadapan media merupakan salah satu hal yang paling berbahaya bagi setiap orang yang terlibat didalamnya. Sahabat Korps harus sadar bahwa setiap kata yang kita ucapkan dihadapan mereka, akan selalu tercatat dan terekam oleh mereka. Setelah itu, ucapan kita akan disebarluaskan ke seluruh masyrakat, sehingga tidak hanya mereka yang pada saat itu saja yang mendengarkan kata kita, tapi juga seluruh masyarakat.

Untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang dapat berakibat fatal bagi diri kita sendiri ataupun orang lain, ada baiknya kita memahami dulu dasar-dasar berkomunikasi dalam media massa yang baik nih Sahabat Korps. Dasar tersebut dapat dipahami melalui berbagai macam teori komunikasi di bawah ini:
  1. Teori Imperialisme Budaya. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa negara Barat mendominasi media di seluruh dunia. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk memengaruhi media dunia ketiga. Media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga, sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Kebudayaan Barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film, berita, foto dan lain-lain. Negara-negara dunia ketiga melihat media massa di Negara barat sebagai bentuk sajian yang kemudian menjadi gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran.Saat itulah terjadi penghacuran dan hilangnya budaya asli negaranya sendiri yang kemudian mengganti dan menyesuaikan dengan budaya Barat.
  2. Teori Agenda Setting, merupakan teori komunikasi massa yang dikemukakan oleh seorang Professor Jurnalistik Maxwell McComb dan Donald Shaw. Secara singkat teori penyusunan agenda ini mengatakan media (khususnya media berita) tidak selalu berhasil memberitahu apa yang kita pikir, tetapi media tersebut benar-benar berhasil memberitahu kita berpikir tentang apa. Media massa selalu mengarahkan kita pada apa yang harus kita lakukan. Media memberikan agenda-agenda melalui pemberitaannya, sedangkan masyarakat akan mengikutinya.
  3. Teori Penggunaan dan Kepuasan. Teori ini mengajukan gagasan bahwa perbedaan individu menyebabkan audien mencari, menggunakan dan memberikan tanggapan terhadap isi media secara berbeda-beda, yang disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan psikologis yang berbeda diantara individu audien. Audien dinilai mengetahui kebutuhan mereka dan mengetahui serta bertanggung jawab terhadap pilihan media.
  4. Teori Jarum Suntik, merupakan salah satu teori komunikasi massa yang digagas oleh Harold Lasswell pada tahun 1920an ketika menulis sebuah buku “Propaganda Taechnique” semasa perang dunia. Teori jarum suntik merupakan salah satu model komunikasi linear yang menitikberatkan pada kekuatan pengaruh media terhadap khalayak. Digunakannya istilah jarum dan peluru adalah untuk menggambarkan ketidakberdayaan khalayak massa sebagai dampak adanya pendapat umum atau opini publik yang dibangun oleh media massa sehingga menyebabkan perubahan perilaku pada khalayak massa.
  5. Teori Kultivasi. Teori kultivasi dikenalkan pertama kali oleh George Gerbner melalui sebuah proyek penelitian yang bernama “Cultural Indicators” yang dilakukan pada pertengan tahun 1960an. Singkatnya, teori kultivasi memiliki hipotesis bahwa pemirsa televisi kelas berat akan mempertahankan kepercayaan dan konsepsi tentang dunia di sekitarnya yang selaras dengan apa yang mereka lihat melalui layar kaca. Misalnya, program televisi yang banyak memperlihatkan tindakan kekerasan. Berdasarkan hipotesis teori kultivasi maka pemirsa kelas berat akan cenderung melihat dunia di sekitarnya sebagai tempat yang penuh dengan tindakan kekerasan. 
Nah itu dia Sahabat Korps, lima teori dasar yang dapat kalian gunakan sebagai acuan untuk berbicara di hadapan media massa ataupun saat kalian bekerja di salah satu media nanti. Teori-teori telah menjadi sangat penting untuk kalian pahami mengingat peran media massa yang semakin vital di zaman sekarang ini. Selamat belajar Sahabat Korps!

Inilah 12 Raja Media di Indonesia!


Hai hai hai Sahabat Korps! Lama tak bersua yaa.. Kali ini kita akan membahas tentang 12 Raja Media di Indonesia! Eh tunggu, mereka itu siapasih? Nah.. lebih baik kita cari tau dulu yuk tentang mereka agar bisa mengenal perkembangan media lebih jauh!

Pertumbuhan bisnis media mencerminkan hukum rimba (‘yang paling kuatlah yang akan bertahan’) secara sempurna: tidak semua perusahaan media dapat bertahan dalam kompetisi ini. Mereka yang bertahan kemudian mulai memperluas bisnisnya dengan masuk ke ranah media lain untuk memastikan mereka mempunyai cakupan bisnis seluas mungkin. Kemudian, diktum bisnis lain diterapkan: produksi massal dari konten, untuk menjaga biaya produksi secara keseluruhan agar tetap rendah. Oleh sebab itu, sebuah grup media akan memproduksi program-program yang dapat ditayangkan di seluruh jaringannya, dan akibatnya akan mengurangi keberagaman konten secara signifikan. Padahal, keberagaman konten merupakan suatu hal yang penting dalam mempertahankan fungsi publik dari media.

Pada saat ini pun, dominasi dan kekuasaan oleh media sebenarnya dapat dengan jelas kalian lihat loh Sahabat Korps. Media-media tersebut dijuluki sebagai '12 Raja Media', yang terdiri dari:

  1. Global Mediacomm (MNC), dipegang oleh Harry Tanoesoedibjo. Grup ini telah memiliki sebanyak 20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media cetak, dan 1 media online. Grup ini juga bergerak dalam bisnis produksi konten, distribusi konten, dan talent management. 
  2. Jawa Pos Group, dipegang oleh Dahlan Iskan dan Azrul Ananda. Grup ini telah memiliki sebanyak 20 stasiun televisi, 171 media cetak, dan 1 media online. Grup ini juga bergerak dalam bisnis paper mills, printing plants, dan power plant.
  3. Kompas Gramedia, dipegang oleh Jacob Oetama. Grup ini telah memiliki sebanyak 10 stasiun televisi, 12 stasiun radio, 88 media cetak, dan 2 media online. Grup ini juga bergerak dalam bisnis properti, jaringan toko buku, manufktur, event organiser, dan pendidikan dalam universitas.
  4. Mahaka Media Group, dipegang oleh Abdul Gani dan Erick Tohir. Grup ini telah memiliki sebanyak 2 stasiun televisi, 19 stasiun radio, dan 5 media cetak. Grup ini juga bergerak dalam bisnis event organiser dan PR konsultan.
  5. Elang Mahkota Teknologi, dipegang oleh Sariatamadja Family. Tidak seperti yang lainnya, grup ini hanya memiliki sebanyak 3 stasiun televisi dan 1 media online. Adapun bisnis lain yang dijalankan, yaitu telekomunikasi dan IT solutions.
  6. CT Corp, dipegang oleh Chairul Tanjung. Grup ini pun hanya memiliki 2 stasiun televisi dan 1 media online. Namun, grup ini juga bergerak di bidang bisnis lainnya, seperti financial services, lifestyle and entertainment, sumber daya alam, dan properti.
  7. Visi Media Asia, dipegang oleh Bakrie & Brothers. Grup ini juga hanya memiliki 2 stasiun televisi dan 1 media online. Namun, grup ini juga bergerak dalam bisnis sumber daya alam, network provider, dan properti.
  8. Media Group, dipegang oleh Surya Paloh. Grup ini memiliki 1 stasiun televisi dan 3 media cetak. Grup ini juga bergerak dalam bisnis properti (hotel).
  9. MRA Media, dipegang oleh Adiguna Soetowo dan Soetikno Soedarjo. Grup ini telah memiliki sebanyak 11 stasiun radio dan 16 media cetak. Grup ini juga bergerak dalam bisnis retail, properti, food & beverage, dan otomotif.
  10. Femina Group, dipegang oleh Pia Alisjahbana. Grup ini memiliki 2 stasisun radio dan 14 media cetak. Adapun grup ini bergerak dalam bisnis talent agency dan penerbitan.
  11. Tempo Inti Media, dipegang oleh Yayasan Tempo. Grup ini memiliki 1 stasiun televisi, 3 media cetak, dan 1 media online. Grup ini juga bergerak dalam bisnis produksi dokumenter.
  12. Beritasatu Media Holding, dipegang oleh Lippo Group. Grup ini telah memiliki sebanyak 2 stasiun televisi, 10 media cetak, dan 1 media online. Grup ini juga bergerak dalam bidang bisnis seperti, properti pelayanan kesehatan, TV kabel, Internet service provider, dan pendidikan dalam universitas,


Sumber:

Buku
Nugroho, Yanuar. Dinita Andriani Putri & Shita Laksmi. 2013. Memetakan Lanskap Industri Media Di Indonesia. Jakarta: Centre for Innovation Policy and Government.
Internet
http://www.beritasatu.com/politik/477984-kerangka-hukum-kewenangan-pemilu-dinilai-masih-lemah.html. Purnamasari, Deti Mega. 2018. Kerangka Hukum Kewenangan Pemilu Dinilai Masih Rendah. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/565574/7-media-ini-dituding-berpihak-dan-tendensius. Tempo.co. 2014. 7 Media Ini Dituding Berpihak dan Tendensius. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://news.okezone.com/amp/2017/12/27/337/1836515/tahun-politik-dan-netralitas-media. Mardiyansyah, Khafid. 2017. Tahun Politik dan Netralitas Media. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.

Kritis pada media, maju untuk Indonesia!

Blog oleh Bernardus Pandu, Cindy Gozali, Desicia Calista, dan Laurensia Lucinta. Diberdayakan oleh Blogger.
"The mass media, their influence is everywhere, they tell us what to do, what to think, and they tell us to think about ourselves all of the time" - Tricia Harris

Mass Communication Class D

Isu Literasi Digital

Dunia kini berkembang semakin canggih, masyarakat pun mau tidak mau mengikuti moderenisasi yang ada, termasuk juga dalam bidang teknologi...

Formulir Kontak

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Pages

Blogger templates