Minggu, 20 Mei 2018

Isu Literasi Digital


Dunia kini berkembang semakin canggih, masyarakat pun mau tidak mau mengikuti moderenisasi yang ada, termasuk juga dalam bidang teknologi. Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi telah membawa pengaruh yang begitu kuat terhadap kehidupan manusia, manfaat bisa di dapatkan dengan mudah melalui teknologi, manusia pun kini sudah tidak lagi bergantung pada informasi melalui media media cetak, namun justru bergantung pada saluran internet lewat teknologi, hal inilah yang kemudian disebut sebagai fenomena googlization,Inilah yang disebut fenomena ‘Googlization’, sebuah kondisi yang membuat seseorang sangat nyaman untuk menjelajah di dunia maya untuk mencari informasi. Masyarakat pengguna teknologi di jaman ini semakin dikhawatirkan, karena kemampuan mengelola informasi yang berubah sebagai akibat dari dampak fenomena tersebut.

Dikutip dari biz.kompas.com, Studi dari MindEdge Online Survey of Critical Thinking Skills menunjukkan generasi milennial kekurangan kemampuan berpikir kritis. Masalah ini menjadi sangat penting menginat 55 persen generasi milennial bergantung pada media sosial sebagai sumber berita, 51 persen sangat rajin membagikan konten dari media sosial ke lingkaran terdekatnya, dan 36 persen secara sengaja telah membagikan informasi yang tidak akurat.

Padahal kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan di era digital ini, karena teknologi mampu dijadikan sebagai alat berkembangnya hal hal negatif dan tidak berdasarkan pada fakta. Patricia Greenfield, seorang profesor di bidang psikologi dan Direktur Digital Media Centre, Los Angeles menyatakan kemampuan analisis dan berpikir kritis kita kini telah menurun seiring meningkatnya peran teknologi di hidup kita (Stuart Wolpert, UCLA).

Hal tersebut juga tergambar di negara multietnis seperti Indonesia, banyaknya konten yang menyinggung unsur SARA tentu saja mampu menimbulkan perpecahan. Melalui internet, informasi manapun dapat dianggap sebagai kebenaran, meskipun hal itu diragukan sama sekali. Masyarakat yang meyakini hal tersebut kemudian mampu untuk menyebarluaskan dan meningkatkan kebencian di antara orang orang dari latar belakang budaya, suku, maupun agama yang berbeda beda. Terbukti dari kasus Saracen yang menyebarkan informasi berisi isu isu SARA yang tidak terbukti kebenarannya dan tidak sedikit dari masyarakat yang mempercayai hal itu.

Kasus lainnya juga terjadi saat pilkada Jakarta, ketika media menimbulkan banyak kontroversi di kalangan masyarakat, dan diakui oleh Matarari Timoer yang merupakan salah satu anggota ICT Watch mengatakan bahwa kehidupan digital kita telah memasuki dunia kegelapan, dan itulah mengapa negara butuh orang-orang untuk menjadi lentera dan memerangi kegelapan ini.

Banyak informasi palsu yang disebar melalui media sosial maupun media online lainnya. Sebut saja ketika Raja Salman dari Arab Saudi melakukan kunjungan ke Indonesia, media menunjukan bagaimana fakta diputarbalikan, foto Ahok yang sedang berjabat tangan dengan Raja Salman disebut palsu. Padahal, foto tersebut dipotret langsung oleh fotografer kepresidenan dan tersebar luas di media sosial ketika Raja Saudi itu tiba di Jakarta awal Maret lalu. Juga ada poster-poster rekaan yang tersebar yang mengatakan bahwa "jika Anies Baswedan kalah pemilu, akan ada Revolusi Islam" dengan gambar provokatif pria dengan pakaian putih memegang pedang. Tapi lucunya, hal yang memang sengaja dipalsukan malah dielu-elukan sebagai fakta. Disini seharusnya ada filter yang menyaring informasi yang salah atau sengaja direkayasa. Dan filter ini menjadi bagian dari ranah literasi digital.Khususnya dalam topik isu berita hoax, website penebar kebencian,  atau berita yang diplintir menjadi fokus.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa netizen Indonesia masih belum memiliki edukasi yang kuat tentang media digital. Sebab mereka menyebarkan informasi tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital #Siberkreasi Dedy Permadi mengatakan posisi Indonesia diantara anggota G20 (Group of Twenty) yang terdiri dari 19 negara termasuk Indonesia dan Uni Eropa, bisa dikatakan rendah. Selandia Baru punya program literasi digital sejak SD, Australia juga sudah punya, bahkan di Uni Eropa setiap pembangunan infrastruktur teknologi diimbangi dengan pengetahuan teknologi,  Indonesia masih rendah soal pengetahuan teknologi. Maka dari itu sangat rawan akan hoax, cyber bullying, sampai radikalisme.

Oleh karena itu, literasi digital khususnya di Indonesia perlu terus dikembangkan. Disisi lain, kita sebagai mahasiswa pun dapat turut ambil bagian dalam perluasan literasi digital, diantaranya dengan menyebarluaskan konten media yang positif, misalnya mengeskplor budaya budaya indonesia yang jarang diketahui masyarakat, memberikan informasi tempat wisata yang semulanya tidak banyak diketahui, hal tersebut dapat dilakukan terutama melalui media sosial yang dominan menjadi tempat bagi para netizen untuk mencari informasi.

Bagaimana upaya kita sebagai mahasiswa, ikut serta dalam mengembangkan literasi digital pada masa ini? Tentunya banyak Sahabat Korps, namun kalian dapat melakukan tiga hal utama ini dalam kehidupan sehari-hari kalian:
  • memanfaatkan internet untuk hal-hal yang positif 
  • mencegah beredarnya hoax dengan cara selalu melakukan crosscheck terhadap setiap pemberitaan yang ada di media apapun, mulai dari diri sendiri 
  • menciptakan konten-konten kreatif dan bermutu melalui media sosial





0 komentar:

Posting Komentar

Kritis pada media, maju untuk Indonesia!

Blog oleh Bernardus Pandu, Cindy Gozali, Desicia Calista, dan Laurensia Lucinta. Diberdayakan oleh Blogger.
"The mass media, their influence is everywhere, they tell us what to do, what to think, and they tell us to think about ourselves all of the time" - Tricia Harris

Mass Communication Class D

Isu Literasi Digital

Dunia kini berkembang semakin canggih, masyarakat pun mau tidak mau mengikuti moderenisasi yang ada, termasuk juga dalam bidang teknologi...

Formulir Kontak

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Pages

Blogger templates