Pada
dasarnya, konvergensi dan konglomerasi media memiliki tujuan untuk memperoleh
simpati publik dalam jumlah yang lebih banyak melalui konten yang mereka
produksi. Maka, semakin banyak kanal media yang tergabung, semakin banyak pula
simpati publik yang mereka peroleh. Namun, sayangnya orientasi mereka hanya
mengarah pada profit atau keuntungan. Subjek ‘mereka’ yang dimaksud di sini
adalah orang-orang yang memegang saham terbesar atau bahkan pemilik media itu
sendiri. Hal ini jelas menjadi dampak negatif lainnya dari akibat adanya
konglomerasi dan konvergensi itu sendiri.
Sahabat Korps, telah kita pahami sebelumnya bahwa media-media di Indonesia ini hanya dikuasai oleh beberapa orang besar saja. Ternyata, kecenderungan
pemilik media yang mengutamakan modal tersebut justru malah merugikan
kita. Masyarakat pada dasarnya berhak untuk mendapatkan
konten-konten yang bersifat edukatif dan berkualitas, namun nyatanya, fakta
berbicara lain. Berdasarkan survei Nielsen dalam buku Nugroho, Putri &
Laksmi (2013) berjudul Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer Di
Indonesia, mengatakan bahwa sinetron memegng angka tertinggi dengan sebanyak
26% sebagai tayangan yang paling banyak ditonton oleh masyarakat. Sinetron
menjadi konten yang paling banyak disiarkan oleh media-media di Indonesia
(seperti RCTI dan MNC TV, Indosiar dan SCTV), padahal seperti yang kita lihat
sendiri, konten dari sinetron-sinetron tersebut justru tidak berkualitas dan
edukatif. Kembali lagi, semuanya berbalik pada orientasi utama yaitu profit. Media
hanya berfokus pada rating tinggi karena melalui rating tersebut, mereka dapat
memperoleh profit yang besar pula.
Tidak
hanya konten secara garis besar, iklan juga menjadi faktor lain bagi media
dalam mencari profit. Melalui iklan, media-media tersebut bisa memperoleh
pemasukkan yang sangat banyak. Pada saat ini, iklan dapat muncul di mana saja
dan di media mana saja, mulai dari surat kabar, media online, radio, sampai televisi. Dalam televisi misalnya, tercantum
dalam Draft Revisi Undang-Undang Penyiaran 19 Juni 2017 Pasal 142 yang
menyatakan bahwa waktu siaran untuk iklan spot untuk Lembaga Penyiaran Swasta
paling banyak 30% dari seluruh waktu siaran per tahun. Angka tersebut naik
sebanyak 10% dari UU Penyiaran tahun 2002 yang membatasi iklan agar tidak lebih
20% dari total waktu siar. Terbukti, kini iklan di televisi sudah sangat banyak
dan bahkan ada juga yang diselipkan dalam program-program mereka sendiri,
seperti sinetron.
Kedua
fakta tersebut merupakan hal yang sangat memprihatinkan dan sangat merugikan
bagi kalangan masyarakat, termasuk kita semua. Kesannya, kepentingan seluruh masyarakat seolah-olah dinomor
duakan setelah kepentingan perusahaan yang lebih mengutamakan profit. Jika hal
ini tidak segera ditangani melalui pembentukan regulasi terhadap konglomerasi
dan konvergensi media, yang ada kita hanya akan terus dibodohi oleh industri
bisnis yang salah tempat ini. Apa kalian mau begitu?
Sumber:
Buku
Nugroho, Yanuar. Dinita Andriani Putri & Shita Laksmi. 2013. Memetakan Lanskap Industri Media Di Indonesia. Jakarta: Centre for Innovation Policy and Government.
Internet
http://www.beritasatu.com/politik/477984-kerangka-hukum-kewenangan-pemilu-dinilai-masih-lemah.html. Purnamasari, Deti Mega. 2018. Kerangka Hukum Kewenangan Pemilu Dinilai Masih Rendah. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/565574/7-media-ini-dituding-berpihak-dan-tendensius. Tempo.co. 2014. 7 Media Ini Dituding Berpihak dan Tendensius. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
https://news.okezone.com/amp/2017/12/27/337/1836515/tahun-politik-dan-netralitas-media. Mardiyansyah, Khafid. 2017. Tahun Politik dan Netralitas Media. Diakses pada Minggu, 22 April 2018 melalui laptop.
Hmm menurut saya konglomerasi juga punya efek positif buat media kecil yang dinaungi si media besar karna mereka akan difasilitasi dan bisa meningkatkan kualitas mereka utk bersaing di industri media. Tapi mantab infonya gann,thank youu
BalasHapus